“Bu guru….!, Bu guru… !” Budi berbicara kasar.” lapor Fulan, seorang murid kelas 4 SD kepada Bu Ani, gurunya. “Budi berbicara apa?” tanya Bu Ani. “Dia berkata anjing,” jawab Fulan. Bu Ani.kemudian memanggil Budi untuk menanyakan kebenaran berita tersebut. Ternyata Budi bercerita kepada teman-temannya bahwa saat berangkat ke sekolah tadi pagi, di jalan raya ada seekor anjing tertabrak mobil. Anjing itu akhirnya mati.
Bu Ani kemudian memanggil Fulan dan menjelaskan bahwa Budi tidak berbicara kasar. Bu Ani menjelaskan kapan kata anjing menjadi sebuah kata yang kasar dan kapan menjadi sebuah ungkapan yang netral, tidak menimbulkan kesan kasar. Penjelasan Bu Nisa juga didengar oleh beberapa murid lain yang ada di kelas.
Saat hendak.menuju ke kantor, di dekat tangga menuju lantai dua, Bu Nisa melihat dua murid putri kelas 4. Mereka akan menuju ke masjid untuk sholat dzuhur. Masing-masing dari mereka membawa mukena. Salah satu dari mereka merebut mukena milik temannya. Murid pemilik mukena berusaha merebut kembali, tetapi temannya meledek dengan menggerak-gerakkan mukena sehingga tidak dapat ditangkap olehnya. Setelah berkali – kali mencoba merebut tidak berhasil, murid pemilik mukena tersebut berkata,”Monyet…!!”, dengan intonasi tinggi.
Mendengar ucapan tersebut, Bu Nisa berhenti dan mendekati dua murid tersebut. Bu Nisa menjelaskan bahwa ucapan itu tidak pantas karena terkesan tidak sopan. Monyet adalah nama salah satu jenis hewan, sama seperti anjing, kucing, kambing, dan nama hewan yang lain. Dua kata tersebut, monyet atau anjing adalah netral tidak bermakna kasar kalau diucapkan dalam sebuah kalimat yang tepat, tetapi dua kata tersebut menjadi sangat kasar ketika diucapkan saat kalian marah, kecewa, atau pun tidak suka. Dua murid tersebut dengan seksama mendengarkan penjelasan dan nasehat Bu Nisa. Beberapa murid yang akan ke masjid pun akhirnya berhenti, ikut mendengarkan nasehat Bu Nisa.
Fenomena berbicara kasar saat ini marak dilakukan oleh anak-anak, baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Anak-anak tentu tidak menciptakan sendiri ucapan tersebut. Mereka pasti mencontoh dari orang dewasa. Ketika di dalam keluarga, tidak ada satu pun anggota yang terbiasa berkata kasar, tentu anak mencontoh dari lingkungan. Kata dan kalimat kasar akhirnya menjalar ke mana-mana, tanpa diketahui siapa pencetusnya yang pertama.
Menanamkan kebiasaan baik adalah memang tidak mudah. Sebaliknya sesuatu yang jelek, tidak perlu diajarkan maka akan banyak yang meniru. Sebagai contoh, ada seseorang yang membuang satu kresek sampah di tepi jalan, dapat dipastikan sepekan kemudian banyak sampan di tepi jalan tersebut. Berkali-Kali dipasang papan peringatan pun tidak dapat menghentikan kegiatan tersebut. Demikian juga dengan kebiasaan berkata kasar, dimulai dari meniru dan tidak ada yang mengingatkan dengan seriius.
Fenomena berbicara kasar dan tidak sopan yang melanda anak-anak menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Selain memberikan contoh ucapan yang baik di lingkungan keluarga, diperlukan juga sikap tegas dan juweh ( sering mengingatkan) jika menyaksikan anak berbicara kasar. Guru di sekolah juga harus melakukan hal yang sama. Sikap acuh dan menganggap berbicara kasar adalah remeh akan membuat anak merasa bahwa berbicara kasar adalah hal biasa, bukan satu hal yang harus diperbaiki.
Penggunaan kata kasar akan berdampak negatif, baik kepada penerimanya atau pelakunya. Berbicara kasar yang ditujukan kepada seseorang akan membuat.orang lain terluka hatinya dan merasa malu. Ini mengakibatkan hubungan pertemanan menjadi terganggu. Kebiasaan berbicara kasar yang dimiliki oleh seseorang akan menurunkan kwalitas orang tersebut.
Menurut Wijana dan Rohmadi (2016:119) kata-kata kasar dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yaitu keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, makhluk halus, aktivitas, dan profesi.
Kata kasar adalah ungkapan bahasa yang digunakan untuk menyerang, menghina, menistakan, dan merendahkan orang lain. Kata-kata kasar sering digunakan saat seseorang merasa marah, frustasi, atau kecewa.
Kategori kata kasar menurut Wijana dan Rohmadi, tidak menjadi kasar jika digunakan dalam kalimat yang bukan untuk mengekspresikan kemarahan, namun ada beberapa kata yang meskipun tidak untuk mengekspresikan kemarahan tetap berindikasi kasar seperti kata bangsat dan bajingan. Ketika mendapat laporan dari seorang anak, bahwa ada anak lain yang berbicara kasar , orang tua dan guru harus bijak menyikapinya.
—-
Tri Mulyani
Colomadu, 12 December 2024